Selain Kuno, Penggunaan Baliho pada Masa Kampanye Hanya Meninggalkan Kerusakan Lingkungan
Indonesia telah berkali-kali melewati masa transisi politik lewat jalur pemilihan umum. Pada masa tersebut, para calon eksekutif maupun legislatif saling berlomba-lomba untuk menjadi yang paling terdepan dalam medongkrak elektabilitas lewat ratusan baliho dan spanduk bergambarkan dirinya sendiri.
Tentunya, selain memakan biaya yang cukup mahal, penggunaan baliho dan spanduk dalam tiap-tiap masa kampanye juga dianggap sebagai jalur pintas menuju kerusakan lingkungan. Sebab, alat peraga bekas tersebut — cepat atau lambat — akan menjadi limbah dan sampah yang sulit terurai oleh alam pasca berakhirnya masa kampanye.
Ilusi Elektabilitas dan Kerusakan Lingkungan
Ratusan atau bahkan ribuan spanduk dan baliho yang terpampang di pinggir jalan, tiang listrik, maupun pepohonan mungkin telah menjadi pemandangan yang lumrah kita lihat — terlebih pada masa pemilu. Entah kenapa, hal ini seolah telah menjadi lanskap budaya politik di Indonesia. Padahal jika kita mau melihat dunia hari ini yang semakin gigantis lewat digitalisasi pada segala sektor kehidupan, pola kampanye lewat pemasangan berbagai alat peraga tersebut malah menggambarkan betapa kunonya pemikiran para tim pemenangan partai politik.
Budaya ini tidak muncul tanpa sebab, pemasangan foto para calon maupun simbol partai politik yang berkontestasi pada pagelaran pemilu telah muncul dari dulu. Tujuannya sederhana: partai politik butuh eksistensi sedangkan masyarakat pada masa lampau butuh sosialisasi — dahulu akses informasi masih sangat terbatas. Sehingga pemasangan alat peraga kampanye dianggap menjadi pilihan yang paling efektif dalam strategi marketing politik masa itu.
Masalahnya, hari ini masyarakat telah mengenal internet dan media sosial. Lewat beberapa sentuhan tangan, flyer partai politik dan poster-poster para calon akan langsung hadir tepat di depan mata masyarakat lewat ponsel pintarnya masing-masing. Jangankan poster, produk kampanye berupa video juga dapat dengan mudah tersebar hanya dengan bantuan internet. Cara ini menjadi sangat praktis dilakukan mengingat peradaban yang tengah berada di situasi mendesak: krisis lingkungan.
Namun nampaknya para politisi tidak menghiraukan apa yang menjadi urgensi bersama. Hal ini dibuktikan lewat masih maraknya pemasangan baliho dan spanduk di tiap-tiap sudut jalan. Walaupun aturan yang berlaku masih mengamini gerakan tersebut, seharusnya partai politik sadar akan bahaya dan kerusakan yang ditimbulkan setelahnya. Terlebih lagi, selain merusak pemandangan dan esetetika jalanan — karena dipasang sembarang, desain dari kebanyakan spanduk tersebut cendrung norak dan membosankan.
Menurut Bawaslu Jakarta Selatan yang dilansir oleh Tirto.id, terdapat 20 baliho, 668 spanduk, 2849 bendera, dan 5 banner besar di sekitar Jakarta Selatan sepanjang September 2019-Februari 2020. Itu pun masih di luar bulan-bulan pemilu dan hanya di Jakarta Selatan saja. Bayangkan, akan ada berapa banyak produk alat peraga kampanye yang muncul di seluruh Indonesia pada bulan-bulan pemilu, yang untuk membersihkannya dari jalanan saja membutuhkan waktu yang tidak sebentar, apalagi untuk mengurainya?
Sebab sebagaimana kita tahu, seluruh atribut kampanye tersebut menggunakan bahan-bahan yang tentunya tidak ramah lingkungan. Kebanyakan bahan dasarnya menggunakan plastik — satu musuh lingkungan yang belum bisa manusia lawan. The Balance dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa dibutuhkan seminimalnya 1000 tahun untuk dapat mengurai barang-barang plastik tersebut di dalam tanah.
Beberapa peraturan yang dikeluarkan pemerintah kota terkait penggunaan plastik harian juga hanya menjadi omong kosong ketika geliat marketing politik dalam negeri masih jamak menggunakan alat peraga berbahan plastik. Padahal, menurut pengamat politik Jawa Timur, Surokim Abdussalam, penggunaan baliho dan spanduk dalam masa kamoanye memiliki nilai efektifitas yang cenderung rendah, kurang lebih sekitar 7%.
Angka yang terlampau rendah jika disandingkan dengan berapa banyak jumlah uang yang dikeluarkan dan bagaimana dampak yang dimunculkan setelahnya.
Gerakan Alternatif Masyarakat
Pasca pemilu, kita bisa melihat bahwa banyak para petugas partai yang sebelumnya saling berlomba-lomba dalam memasang alat peraga kampanye di tiap-tiap sudut jalan justru malah menjadi yang paling enggan untuk membersihkan. Seolah-olah, tugas “membersihkan” tersebut merupakan kerja-kerja dari Satpol PP maupun petugas kebersihan ibukota. Sebuah gambaran yang jelas mengenai betapa tidak pedulinya partai politik atas lingkungan.
Masyarakat yang lambat laun jengah atas perbuatan tersebut lantas menginisiasi gerakan alternatif berupa pengambilalihan sampah-sampah tersebut untuk di daur ulang menjadi sesuatu yang bernilai jual tinggi. Salah seorang yang menginisasi gerakan tersebut adalah seorang seniman lukis asal Bogor, Harist Alfradi Dewanto.
Seperti yang dilansir oleh BBC, langkah tersebut muncul disebabkan karena betapa terganggunya pemandangan akibat ribuan spanduk dan baliho yang terpampang di sepanjang jalan Jakarta-Bogor. Menurutnya, dari pada hanya menjadi limbah lingkungan yang tidak bisa diurai, lebih baik dimanfatkan ulang sebagai barang-barang yang bermanfaat seperti tas, celana, bahkan sampai jaket. Sebuah gagasan yang pastinya tidak muncul dari para calon maupun partai politik.
Gerakan alternatif ini memang progresif, namun mengingat betapa berbahayanya muatan yang terkandung pada spanduk dan alat peraga lainnya — ditambah dengan produksinya yang masif — seharusnya dapat menjadi alarm pengingat bagi kita semua untuk segera berbenah: sudah bukan zamannya lagi berkampanye lewat pemasangan alat peraga yang pada kenyataannya sangat berpotensi merusak lingkungan.
Artikel ini ditulis oleh Dimas Dwi Putra, editor arusbaru.co.