Di masa pandemi seperti ini, terdapat batasan kegiatan masyarakat guna mencegah penyebaran virus secara lebih meluas yang mana kondisi ini berhasil menciptakan satu iklim sosial yang tidak dapat diprediksi bagi setiap orang. Masyarakat dipaksa untuk mau berhadapan dengan berbagai pembaharuan, seperti beragam aktivitas masyarakat yang kini tidak lagi dilakukan lewat tatap muka — banyak aktivitas yang dilakukan secara daring.
Namun ironinya, seseorang kerap dituntut untuk tetap produktif walaupun dalam kondisi yang serba terbatas. Entah kewajiban atau sekadar tuntutan sosial agar kita menjadi yang paling seolah-olah.
Tentu asumsi tersebut berangkat dari keresahan saya terhadap gaya hidup kekinian. Sebab belakangan, saya cukup diresahkan dengan banyak orang yang mungkin merasa kalau gue keliatan sibuk itu ya keren, lho. Sebuah usaha untuk mengeruk pengakuan sosial yang bagi saya tidak keren sama sekali.
Keresahan ini pertama kali muncul tatkala saya melihat media sosial. Di kebanyakan kasus, platform tersebut seringkali digunakan orang-orang untuk memperlihatkan berbagai macam kesibukan yang rutin diposting, seperti ada tuntutan sosial bahwa setiap orang harus memiliki kesibukkan. Seolah-olah kita semua sedang berlomba dalam kejuaraan fana berjudul siapa yang paling sibuk, dia yang paling keren. Sampai akhirnya saya sepakat bahwa menyibukkan diri merupakan standar gaya hidup baru.
Lagipula apa salahnya sih jika kenyataannya memang kita tidak sibuk-sibuk amat? Kan gak salah juga jika kita bersikap untuk menjadi biasa-biasa aja, seperti berdiam diri dalam rumah dan tidak mengerjakan apa-apa? Bisa saja kan kalau sebenarnya orang yang belum memiliki kesibukkan ternyata sedang mempersiapkan dirinya untuk tantangan berikutnya. Karena bagi saya, sudah bukan waktunya menganggap kesibukkan sebagai sebuah hal yang keren. Bukan tentang siapa yang paling sibuk dan tidak sibuk, tetapi bagaimana kita harusnya bisa saling mendukung satu sama lain.
Misalnya, saya lebih memilih efisien dibandingkan menjadi terlihat sibuk, karena bagi saya sibuk itu hanya seolah-olah: seolah memiliki misi besar dalam hidup, seolah gue lagi sibuk dan gakbisa diganggu, dan seolah jadi si paling pekerja keras walaupun kenyataannya tidak, atau lebih ke ya, biasa aja.
Sedangkan saya menganggap bahwa efisien adalah orang yang bijak dalam mengelola hidupnya, seperti proporsional dalam membagi waktu antara tuntutan pekerjaan, teman-teman, dan keluarga. Saya juga percaya bahwa “orang-orang sibuk” adalah orang yang terus menerus mengumumkan kesibukannya kepada setiap orang. Di sinilah titik perbedaannya, bahwa orang yang efisien hanya akan menunjukan hasil konkret dalam pekerjannya tanpa perlu diumbar untuk sekadar menjadi yang paling seolah-olah.
Tentunya tulisan ini hadir bukan untuk menghakimi orang-orang yang berusaha sibuk, juga bukan untuk membenarkan bahwa orang yang tidak produktif itu benar: terdapat benar dan salah disini, bahwa setiap orang memiliki caranya masing-masing untuk menjalani hidup. Namun, terdapat distingsi antara orang yang padat aktivitas dengan orang yang seolah-olah sibuk, maka efisienlah dalam mengelola hidup. Sibuklah tanpa diketahui orang lain, sebab pada dasarnya kesibukkan bukan apa-apa, dan untuk menjadi terlihat sukses pun tidak melulu harus terlihat sibuk.
Jangan sampai kesibukkan berubah makna menjadi perlombaan untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain.
Artikel ini ditulis oleh Alief Febryan, Content Planner WeGotYou.
Editor: Dimas Dwi Putra