Fakta Eksploitasi Suara: Membacanya dalam Kampanye Politik

Arusbaru
5 min readNov 19, 2023

--

Tahun-tahun politik di Indonesia memanas tiap lima tahun sekali. Tiap lima tahun sekali, terjadi yang namanya “pesta demokrasi” di mana pertarungan kekuasaan terjadi dalam momen pemilu.

Tujuan pemilu adalah untuk memenangkan kekuasaan, dan salah satu caranya adalah lewat komunikasi politik. Komunikasi politik, bisa dicapai lewat kampanye politik, yang di dalamnya terdapat penyampaian ide, gagasan, janji-janji, program unggulan, maupun visi-misi. Tujuan kampanye politik adalah untuk menarik suara pendukung dengan membela kepentingan tertentu.

Permasalahan yang paling sering ditemukan adalah, masyarakat menganggap janji-janji dan program yang dibawakan saat kampanye dianggap palsu dan cenderung tidak ditepati. Namun, penulis tidak menuju ke arah sana. Meskipun janji-janji dan program ditepati sekalipun, ada problem yang lebih menarik untuk diperhatikan.

Menelisik Lebih Dalam

Jika kita melihat kembali pada konsep politik yang sangat dasar yakni kontrak sosial, politik dilakukan dengan menerapkan konsensus antara yang memerintah dan yang diperintah. Konsensus itu berupa konsep rasional bagi yang diperintah untuk memercayakan hak kuasa pemerintahan pada yang memerintah dengan syarat mereka bisa mewakilkan kepentingan politik yang diperintah.

https://necessaryandpropergovt.wordpress.com

Masalahnya, dalam politik-demokrasi tidak mungkin semua masyarakat dalam suatu negara bisa memiliki kepentingan yang sama seluruhnya. Demokrasi mewajarkan kepentingan yang berbeda-beda.

Martin Surayajaya dalam kanal podcast di Spotify milik IndoProgress berjudul “Kuliah: Teori Suara Lebih” sudah mengemukakan analisis ini dengan melihat kongruensi tesis Carl Schmitt dalam tradisi otoritarianisme Nazi dan tesis Jacques Rancière dalam tradisi egalitarianisme Prancis.

Tesis Carl Schmitt kira-kira adalah menganggap politik sebagai konsep kedaulatan. Kedaulatan bagi Schmitt adalah tentang siapa lawan dan siapa kawan. Siapa yang kepentingannya diwakilkan, dan siapa yang merupakan oposisi, yang dikecualikan. Politik bagi Schmitt adalah politik tentang pengecualian. Bagi Schmitt, perumusan kebijakan umum bukanlah politik. Kebijakan umum dibuat setelah terbentuk oposisi. Momen kedaulatan bisa disamakan dengan Indonesia saat masih dibicarakan pada sidang BPUPKI.

Tesis Rancière adalah tentang representasi. Bagi Rancière, demokrasi selalu dibangun di atas yang terwakilkan dan yang dikecualikan. “Yang dikecualikan” juga harus dianggap dalam realitas politik-demokrasi.

Menjelaskan Menggunakan Kemiripan Antara Politik dan Ekonomi

Politik yang mengemuka saat ini adalah model komoditas politik. Maksudnya adalah, politik mengemuka seperti komoditas, yakni sesuatu yang bisa diperdagangkan, dipertukarkan.

Contohnya, saat harga minyak naik karena monopoli distribusi yang dilakukan oleh para mafia minyak, akan ada aksi demonstrasi — yang kemudian berimplikasi pada munculnya simbol kepentingan yang terwakilkan lewat momentum turunnya harga minyak. Turunnya harga minyak adalah sesuatu yang ditukar untuk tetap mendapatkan kepercayaan masyarakat meskipun dengan mengorbankan kepentingan lain, misalkan: utang.

https://voi.id/berita/277313/brin-sebut-isu-buruh-jadi-komoditas-politik-dalam-pemilu-2024

Dalam ekonomi, pertukaran disyaratkan dengan adanya keseukuran nilai antar barang yang dipertukarkan untuk menciptakan pertukaran yang adil. Dalam model komoditas politik, pertukaran banyak terjadi dalam momen pemilu. Apa yang menjadi keseukuran dalam momen pemilu? Suara.

Kontrak sosial menandakan adanya privatisasi atas hak politik. Demokrasi yang ada saat ini menggunakan sistem one man one vote. Dalam pemilu, suara atau vote menjadi alasan keseukuran yang setara dari tiap individu yang memiliki kepentingan. Apanya yang disetarakan? Kita semua tahu bahwa dalam demokrasi khususnya momen pemilu, orang berpendidikan tinggi dan rendah bernilai sama, yakni mewakili satu suara.

Kemiripan lain politik dan ekonomi adalah: dalam sejarah ekonomi, kapitalisme dimulai setelah adanya privatisasi atas properti, di politik juga sama, demokrasi dimulai setelah adanya privatisasi atas hak politik.

Setelahnya, hanya sebagian orang yang memiliki modal yang bisa mengakumulasi kekayaan; juga sama, hanya sebagian orang yang memiliki uang, kapabilitas politik, pendidikan politik, privileges untuk mengiklankan diri di masyarakat, dsb, yang bisa mencalonkan diri dalam pemilu, mengakumulasi kekuasaan.

Dalam pemilu, kita memilih calon yang membela kepentingan kita lewat kampanye politik. Kita memilih karna terjadi kontrak sosial antara kita dengan si calon. Kita memercayai si calon untuk bisa naik ke kursi pemerintahan agar nantinya bisa menjalankan agenda dan kepentingan politik yang kita inginkan, karna — mau tidak mau — diri kita tidak memiliki modal untuk bisa naik mencalonkan diri.

Masalahnya muncul dari sini.

Letak Eksploitasi Suara

Setelah calon yang kita pilih naik ke kursi pemerintahan (baca: setelah program dan kampanye yang diperjuangkan menang), calon yang terpilih bisa memanfaatkan kekuasaannya. Selain mewakili kepentingan kita, dengan kursi kekuasaan, pejabat terpilih bisa melakukan hal-hal di luar kepentingan kita, atau yang bertabrakan dengan kepentingan kita, atau kepentingan dirinya sendiri, atau kepentingan elit dan kerabatnya.

Contoh: memang pejabat terpilih bisa menjalankan program rumah murah, namun di sisi lain, pejabat terpilih juga bisa menarik subsidi dan menaikkan pajak, atau juga bisa melakukan korupsi (not wanted). Memang pejabat terpilih bisa membangun infrastruktur dan proyek investasi, namun di sisi lain juga, pejabat terpilih bisa membangun dinasti politik keluarganya (not wanted). Memang pejabat terpilih bisa membangun sektor industri dan IPTEK, membuka lapangan kerja, namun di sisi lain juga bisa menciptakan krisis lingkungan atau perebutan lahan (not wanted). Semua bisa dilakukan karna memiliki hak atas kekuasaan, memiliki kendali atas politik.

Karl Marx menjelaskan bahwa laba atau profit didapat dengan cara mencuri surplus value dari nilai kerja para pekerja untuk ditambahkan pada nilai kepemilikan sarana produksi kaum kapital. Tanpa nilai kerja para pekerja, tak mungkin ada laba, tak mungkin ada akumulasi dan kekayaan.

Dengan konsep yang sama, pejabat terpilih bisa naik ke kursi pemerintahan adalah karna hasil dari *penubuhan suara pendukung (menggunakan istilah David Ricardo: *Embodied labour). Namun balik lagi, dalam demokrasi tak mungkin seluruhnya memiliki kepentingan yang sama, maka dari itu tidak mungkin pejabat terpilih menang dan mewakili kepentingan seluruh masyarakat dalam satu negara. Maka pejabat terpilih bisa naik ke kursi pemerintahan karena ditubuhkan juga dari “bukan suara pendukung”, dan ini adalah suara lebih, surplus voting.

Karena adanya kontrak sosial, yang memerintah dalam hal ini pejabat terpilih harus mewakilkan seratus persen kepentingan yang diperintah untuk mendapatkan legitimasi, kepercayaan. Namun calon-calon itu bisa terpilih karna ditubuhkan dari kepentingan orang-orang yang terwakilkan, juga di atas kalahnya kepentingan yang tidak terwakilkan di sisi lain. Pejabat terpilih bisa naik ke kursi pemerintahan dengan menyerap suara yang tidak terwakilkan.

Bagi Rancière, kenyataan politik ada dua: “yang politik” atau politik yang terwakilkan, dan produknya bisa kita lihat, misal: jalan raya, sekolah gratis, fasilitas umum; dan “yang politis” atau politik yang lahir setelah mengeksploitasi suara yang dikecualikan, misal: korupsi, dinasti politik, nepotisme, kolusi, pelanggaran HAM, yang semuanya berbuah menjadi kenyataan politik unordinary yakni demonstrasi, aksi massa, pemberontakan, separatisme, dll.

https://www.tandaseru.com

Ide, gagasan, program-program unggulan dalam kampanye politik bisa dibaca semata hanya sebagai modal yang bisa ditukar dan diinvestasikan agar calon pejabat bisa mencicipi rasanya kekuasaan. Setelah memiliki kekuasaan, selain menepati janji kampanye, pejabat terpilih juga bisa memanfaatkan kekusaan untuk melakukan agenda pribadi, dan itu dilakukan dengan mengakumulasi suara voting. Dan akumulasi, hanya bisa ditempuh lewat eksploitasi.

Demokrasi memang masih sarat akan problem. Fakta, sains, temuan empiris hanya terlempar ke wajah kita, sisanya biar moral yang memberi penilaian.

Artikel ini ditulis oleh Ahmad Farhan Saukani, penulis arusbaru.co

--

--