Berhenti Menempelkan Stigma Kriminal Kepada Para Perokok

Arusbaru
5 min readNov 4, 2020

--

Suatu ketika saat Haji Agus Salim masih menjadi Dubes RI untuk Kerajaan Inggris, ia pernah dengan percaya dirinya mengepulkan asap putih dari sebatang rokok yang dihisap dalam sebuah perjamuan di istana Buckingham, tepat pada momen di mana Elizabeth II dinobatkan sebagai ratu Inggris. Lantas, aroma khas yang tercium di ruang perjamuan tersebut berhasil memancing salah seorang hadirin untuk bertanya, “Tuan sedang menghisap apa itu?” The Grand Oldman, begitu julukan Agus Salim, langsung menjawab, “Inilah yang membuat nenek moyang Anda sekian abad lalu datang dan kemudian menjajah negeri kami”.

Jawaban jitu berhasil disampaikan oleh seorang diplomat ulung dari Tanah Minang. Bagaimana tidak, sebab memang tanaman tersebutlah yang menyebabkan bangsa kita dijajah beratus-ratus tahun oleh Eropa. Tembakau serta cengkeh dan pala merupakan tiga jenis rempah favorit para orang kulit putih dari Eropa karena komoditas tersebut sangat menggiurkan dalam perdagangan zaman penjajahan dulu.

Di era sistem tanam paksa yang diberlakukan Gubernur Hindia Belanda tahun 1830, Johannes van den Bosch, tembakau menjadi salah satu tanaman ekspor yang wajib ditanam masyarakat Indonesia. Dengan melimpahnya tembakau Indonesia, Belanda berhasil mendapatkan keuntungan yang berlimpah dari penerapan tanam paksa tersebut. Pendapatan yang diperoleh dari tembakau saja selalu meningkat. Dari mulanya senilai 180.000 gulden, meningkat menjadi 1.200.000 gulden pada 1840, dan masih meningkat lagi menjadi 2.300.000 gulden pada 1845. Seorang penulis berkebangsaan Belanda seperti dikutip oleh J.S. Furnivall dalam Netherlands India: A Study of Plural Economy menyebut perubahan yang diakibatkan pemberlakuan sistem Tanam Paksa ini terjadi tiba-tiba dan mendalam, seperti sebuah keajaiban: “Jawa melimpahkan kekayaan demi kekayaan atas negeri Belanda seperti tongkat tukang sihir”.

ruangrakyat.com

Pada beberapa dekade kemudian, industri raksasa dalam bentuk pengolahan tembakau tersebut kembali hadir dan mampu bertahan di segala macam situasi, bahkan industri tersebut berhasil menjadi salah satu dari sekian banyak penyumbang pendapatan negara melalui pajak dan cukainya. Namun, industri rokok melalui para petani tambakau secara perlahan dikerdilkan lewat regulasi yang tidak berpihak pada para petani itu sendiri. Alhasil, industri asli bangsa Indonesia tersebut kembali diakuisisi oleh para perampok yang bersembunyi di balik pabrik-pabrik raksasa karena regulasi yang berlaku memaksa demikian.

Rusdi atau bisa disebut “Nitisemito sang Raja Kretek”, menuai kesuksesan ketika perusahaan Nitisemito yang diampunya pada tahun 1938 berhasil memperkerjakan sebanyak 10.000 buruh — yang menghasilkan 10 juta batang rokok per-hari. Pada Juni 2015 juga tercatat bahwa PT HM Sampoerna di Surabaya beserta 38 unit Mitra Produksi Sigaret (MPS) memperkerjakan lebih dari 48.000 karyawan. Namun, fakta mengejutkan terungkap ketika PT Philip Morris Indonesia berhasil mengakuisisi PT HM Sampoerna pada tahun 2005. Bahkan di situs resmi PT Philip Morris Indonesia, disebutkan bahwa kini perusahaannya memiliki 98% saham dari perusahaan kretek tertua di Indonesia tersebut. Otomatis dengan terjadinya hal tersebut, maka keuntungan yang didapatkan oleh PT HM Sampoerna akan masuk ke pundi-pundi perusahaan asal amerika dengan produk andalannya yang sering dikaitkan dengan jantannya seorang koboi.

Setelah dirampok dari sisi ekonomi, kemudian lahirlah UU yang lagi-lagi berusaha mengkerdilkan industri asli bangsa ini, yaitu UU perihal kesehatan. Di mulai dari pengubahan istilah merokok yang tadinya merupakan sebuah “kebiasaan” menjadi “kecanduan”. Kedua hal yang berbeda tipis ini nyatanya memiliki konotasi yang sangat jauh berbeda sehingga memberi efek domino yang luar biasa pada pandangan bangsa mengenai kretek. Dilanjutkan dengan terbitnya UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 115 yang mengatur kawasan tanpa rokok. Hal ini berakibat pada terciptanya smoking room yang membuat para perokok seperti orang-orang perilaku kriminal dengan penjara masyarakat berupa pengucilan atas asap yang dikepulkannya.

Data dari Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) menyebutkan bahwa pada tahun 2015, sekitar 6 juta masyarakat Indonesia adalah petani tembakau — belum lagi jutaan pekerja yang juga menggantungkan hidupnya pada industri pendukung bahan baku rokok. Namun apa daya, munculnya dikotomi antara perokok aktif dan pasif ini membuat industri rokok dalam negeri kian menjadi bulan-bulanan pegiat kesehatan. Anggapan yang menyatakan bahwa perokok pasif akan menerima dampak kesehatan lebih parah dari pada perokok aktif membuat masyarakat melakukan tindakan-tindakan pengucilan untuk perokok aktif, baik dengan mengibaskan asap rokok hingga memilih untuk menjauh dari sang perokok aktif. Kondisi ini sering kali membuat seorang perokok menjadi tidak nyaman karena diposisikan layaknya seorang penjahat di lingkungannya sendiri.

bolehmerokok.com

Industri rokok yang pada perjalanannya juga turut aktif untuk mendukung berbagai sektor seni di lingkungan pendidikan tinggi ini perlahan menghilang berkat PP Nomor 109 Tahun 2012 yang secara langsung dan tidak langsung membuat direksi kampus enggan mengizinkan mahasiswanya mengadakan acara dengan sponsor produk rokok. Prof. dr. Budi Sampurna, SH, DFM, SpF(K), SpKP — ketika masih menjabat sebagai Staf Ahli Bidang Mediko Legal Kementerian Kesehatan, mengatakan bahwa program Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan perusahaan rokok jangan lagi menggunakan merek atau logo produk rokok termasuk brand imagenya — tidak bertujuan promosi, dan tidak boleh diliput media. Sehingga jika ingin memberikan dana CSR silahkan berikan saja langsung tanpa embel-embel apapun. Dampaknya, perusahaan rokok malah seakan melakukan promosi “terselubung” dan lagi-lagi menciptakan hawa negatif kepada masyarakat mengenai rokok.

Apakah seluruh aturan pada PP no. 109 tahun 2012 tersebut murni untuk menyelamatkan kesehatan bangsa dari tembakau yang katanya memiliki bahaya kesehatan, atau malah hal tersebut merupakan hasil saduran Framework Covension of Tobacco Control (FCTC) yang nyatanya berusaha memperlemah industri tembakau dalam negeri demi mempermudah masuknya industri rokok asing?

Ruginya bangsa kita apabila hanya karena satu sektor, kesehatan, dijadikan senjata untuk menyerang kepulan asap putih berusia ratusan tahun dengan sejarah di dalamnya demi mengorbankan sektor lain yaitu politik, ekonomi, dan budaya yang turut berkontribusi menjadi jembatan kemerdekaan dan kemajuan bangsa ini hingga sekarang.

Pada akhirnya, kita hanya akan melihat pertarungan yang tidak imbang dari tangan hitam petani tembakau yang berusaha memenuhi kebutuhan perutnya hari ini melawan kerongkongan haus kapitalis penggiat regulasi yang kian hari kian rakus menggarap seluruh sektor yang menguntungkan diri dan kolega bisnisnya.

Artikel ini ditulis oleh Fathurrahman, Ketua Bidang Ekonomi & Perbankan HIPMI-PT Banten.

Editor: Dimas Dwi Putra

Daftar Bacaan:

Aji, Adi Seno & Yoandinas, Marlutfi, Kretek: Kemandirian dan Kedaulatan Bangsa Indonesia, 2014.

--

--